Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PALU ARIT di BUMI PERTIWI

Belakangan tema-tema palu arit muncul lagi. Dan pemerintah masih dengan pendiriannya mengharamkannya ada di bumi pertiwi ini. 


Rasanya, hampir semua generasi 80-90 an tiap 30 September wajib tidur larut malam buat ngerjain tugas sekolah nonton film tentang pembantaian para Jendral yang katanya dilakukan oleh partai merah. Dari tahun ketahun, Nis selalu menyodorkan  tugas tulisan yang sama. Sampe hafal dialog dan adegan filmnya. 

Waktu SD, Nis udah bertanya dalam hati. Apa sih palu arit arit itu ? Benarkah mereka pembunuh para Jendral ? Kenapa mereka sejahat itu ? Ketika Nis ajukan pertanyaan itu ke Guru di sekolah, beliau menjawab sesuai dengan film wajib itu. Kakek bilang, jaman itu, di kampung sedang susah makan. Ada sekelompok orang bagi-bagi uang dan sembako tapi dengan catatatan namanya dicatat sebagai anggota partai merah itu. Kakek ku yang tidak sekolah, dengan logika menalarnya, beliau berpikir, pasti ada apa-apa ini. Benar saja, tahun berganti...orang-orang yang namanya tercatat disana tak tau lagi dimana keberadaannya. Kakek ku mewanti-wanti untuk tidak membahasnya lagi, dengan siapapun. Pamali, katanya. 

Waktu SMP, Nis sekolah di Jakarta. Seorang Guru PKn- Akhwat berjilbab yang berpengetahuan luas menjelaskan dengan baik. Guru Bahasa Inggris, meminjamkan ku buku "Dunia Sofi" yang tidak menjawab sama sekali pertanyaan ku. Tapi buku itu sanggup membuat ku tenggelam, Nis membacanya berulang-ulang karena sulit memahami. Buku itu membuat nis meninggalkan komik tintin dan detektif conan. Rasanya nis mulai kecanduan bacaan berat seperti itu.  Nis mulai betah berlama-lama di perpus. Nis jadi pelanggan tetap peminjam buku. Nis baca catatan seorang demonstrannya Soe Hok Gie disini. 

Melalui guru agama kristen di SMA, Nis mendapat penjelasan tentang komunis secara tata negara dan perilaku. Tentunya dari sudut pandang kristiani. Rasa penasaran Nis kian menjadi-jadi. Nis melarikan dahaga ingin tahu ke perpustakaan disekolah yang lengkap koleksinya dan nyaman sekali ruang bacanya. Nis menjadi pengunjung tetap untuk membaca berjam-jam diluar jam belajar atau meminjam bukunya. Nis berkenalan dengan pemikiran Karl Max, Plato, Ariestoteles, Lao Tse, Voltaire, Meng Tse, John Locke disini.

Nis pingin melanjutkan sekolah ke Filsafat Driyarkara, Seni Teater nya IKJ atau Jurnalistiknya IISIP. Tapi Mama bilang, Nis harus sekolah yang kaya akan skill buat cari makan. Nis nurut daripada enggak dibiayai. Tapi cinta pada haluan pemikiran kiri enggak bisa ilang begitu aja. Nis tetap membaca buku "terlarang" itu disela-sela kewajiban membaca diktat-diktat kuliah yang tebal. Nis udah punya uang waktu itu. Selain kiriman dari orang tua, Nis juga ngajar privat dan sesekali nulis cerpen. Jadi enggak cuma bisa minjem buku aja. Tapi udah bisa foto copy atau blusukan nyari buku di loakan. Nis dapat AD/ART Partai merah, Dari Penjara ke Penjaranya dan  Pergulatan Menuju Politiknya  Tan Malaka, Di Bawah Lentera Merah Soe Hoek Gie, Kubah / Dukuh Paruk nya Ahmad Tohari, Blues Marbabu/ 65 nya Gitanyali, Amba, Agam Wispi, Slamet Muljana,  Safe Conduct karya novelis Rusia Boris Leonidovich Pasternak, Nis dapat 4 dari 30 tulisan DN Aidit Latar Belakang Sedjarah dan Hari Depannja (1964), Djalan ke Demokrasi Rakjat Bagi Indonesia (1955), Tentang Marxisme (1964), dan Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi (1964). Semua Buku itu terlarang beredar jaman orde baru. Tapi berkat buku-buku itu, sejarah berkelok dikepala Nis sudah agak sedikit bersinergi dengan logika menalar. Sayangnya koleksi itu tidak selamat saat rumah terkena banjir 2007.

"Ini Buku Palu Arit?" Tanya Mama. Kemudian kami duduk bersama dan berdiskusi. Tak disangka, pengetahuan Mama begitu Luas. Sebagaimana Mahasiswa Angakatan 70 an, Mama kritis tapi pasrah pada jaman. "Ini Nutrisi kepala mu. Jangan dimuntahkan lagi, Bahaya" pesan Mama. 

Walaupun jatuh hati dengan haluan pemikiran kiri, tapi Nis enggak tertarik untuk bergabung dengan Gerakan Kiri. Nis fokus untuk buat Mama bangga. Setelah selesai S1, sebelum ambil S2 Nis sempat sekolah di Filsafat Paramadina. Disini bersentuhan dengan Filsafat islam dan mengkaji perbedaan mazhab. Nis belajar bagaiman bijaksana menyingkapi setiap aliran perbedaan yang ada. Apapun itu. Nis salut dengan Paramadina. Yang bisa berdiri dan mendengar semua golongan tanpa menghakimi. Hal-hal buruk yang dianggap sesat, oleh Paramadina diterima dengan tangan terbuka. Di pelajari, di telaah yang mana yang baik dan yang buruk kemudian dikembalikan ke pribadi masing-masing untuk menerima atau menolak paham tsb. Jadi untuk dasar kita bersikap itu bukan "Katanya" saja.

Setiap hal yang katanya buruk, sesat, haram...ketika dipelajari lebih dalam pasti ada hal baik didalamnya. Saya Kagum setengah mati pada Aidit yang tidak pernah mentolerasi poligami hingga akhir hayatnya. Dia rela berpisah jalan dengan Nyoto tokoh palu arit yang selingkuh dengan Perempuan Rusia. Aidit setia dg istrinya seorang dokter akupuntur pertama di Indonesia sampai akhir hayat. Atau Tan Malaka dijaman itu yang  sangat konsisten dengan cara nya bergerak melawan ketidakadilan barat terhadap bangsa dan rakyatnya. 

Terlepas dari apa latar belakang mu, tidak ada salahnya mengosongkan gelas mu untuk mengetahui cara berpikir orang lain, sejarah dan sesuatu hal yang berbeda dengan mu. Sikap yang kamu ambil terasa lebih adil saat kamu mengerti. 

DEMI ALLAH NIS MENCINTAI PANCASILA. Tapi teriris hati ini saat Nis tau dari buku-buku yang Nis baca-terakhir Nis baca Memoar Pulau Buru Hesri Setiawan- bahwa banyak anak bangsa ini yang dihukum, dibunuh dan di siksa tanpa dia tahu apa salahnya. Kalau yang di perlakukan buruk adalah pemimpin, anggota dan antek palu arit, Nis setuju. Tak ada yang layak disalahkan dalam masalah ini. Semua orang terluka.  Tapi luka itu, mendewasakan bangsa ini. Nis  juga tidak sepakat jika Negara meminta maaf dan memberi tunjangan kepada masa lalu itu. Tapi Rakyat berhak atas fakta sejarah yang diluruskan dan mayat-mayat itu berhak atas pemakaman yang layak.

Dear Pemimpin dan aparat negara Indonesia,  tidak perlu takut dengan bangkitnya palu arit. Generasi ini sekarang sudah cerdas untuk memilih. Mungkin tokoh partai merah sudah habis dibunuh dan dibumikan sampai keakar di Pulau Buru. Tapi ketahuilah, Idiologi Dan gerakan makar seperti ini akan selalu hidup  dan tumbuh subur saat negara tidak hadir ditengah kelaparan dan ketidakadilan. Dua hal ini sesungguhnya tugas  kalian. Bukan merazia buku, memberangus lambang partai merah dan menghakimi secara sepihak orang yang diangkap biang kerok. BUKAN !


2 komentar untuk "PALU ARIT di BUMI PERTIWI"