Unboxing, katanya

Unboxing, katanya. 

Beginilah jadinya ketika perempuan dilihat dan diperlakukan seperti obyek, seperti barang. Bukan subyek yang merdeka, punya keinginan dan cita-cita sendiri.

Kita dihias, "dipelihara, "dilindungi" (katanya) seperti memelihara dan melindungi obyek. Ditutup dan disimpan baik-baik agar tidak "cacat", tidak "ternoda". Demi apa? Demi tidak mengecewakan pemilik dan tuan kita di masa depan, yaitu suami. 

Karena itu, saya selalu marah dan merasa terhina ketika perempuan disamakan dengan permen, dengan mutiara, dengan perhiasan, dengan daging, dengan ikan asin, dan segala perumpamaan benda mati lainnya. Juga himbauan-himbauan bagi perempuan untuk menutup aurat dan berperilaku tertentu demi menjaga kesucian dan harga dirinya. 

Selembar kain, selebar apa pun tidak akan mampu mengubah apalagi memperbaiki nilai instrinsik, nilai diri, dan kualitas moral seseorang. Yang suci dan bernilai, akan tetap suci dan bernilai meski pun berada di antara batu dan arang hitam. Yang kotor dan bau, ditutupi dan dilapis emas sekali pun tetaplah akan menjadi sampah dan sumber penyakit. Ini berlaku tidak hanya untuk perempuan, tetapi kita semua. 

"Sudah dikotori laki-laki lain" adalah ucapan seorang pemilik benda, seorang pembeli, ketika dia menyacat barang yang dibelinya. Sebagai pembeli, dia mengharapkan barang yang halus, mulus, tanpa cacat, dan tanpa noda. Ketika dia tahu, "barang" yang dia beli telah dipegang oleh lelaki lain, maka hatinya meradang. Jiwanya penuh amarah dan kecewa.

Apakah anda, seorang perempuan, mau diperlakukan serendah ini? Apakah anda, seorang perempuan, tidak marah ketika anda dipandang tidak lebih sebagai hak milik, benda yang bisa dikuasai, dan dinilai serta dicacat sesuka hati?

Saya perempuan. Saya marah dan saya menolak! Nilai saya, harga diri saya, kemuliaan jiwa saya, tidaklah tergantung dari kondisi vagina dan kondisi selaput dara saya. 

Saya manusia yang berharga.

Bekasi, Suatu subuh