Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kesaksian Si Pintu Gerbang



Kesaksian si pintu gerbang

Aku hanya sebuah pintu besi berwarna hitam yang memiliki panjang 2,5 meter dengan tinggi 1,5 meter di sebuah rumah hoek seluas 200 meter, di pinggir sungai. Rumah dinas yang dapat dibeli putus oleh pegawai. 

Setiap malam, jam 21 aku digembok dan dibuka lagi keesokan harinya, entah jam berapa. Sebagai gerbang yang sudah menjaga rumah ini bertahun-tahun, aku menyaksikan banyak drama rumah tangga dan mendengar banyak percakapan. 

Dahulu, rumah hoek ini dihuni oleh sebuah keluarga yang terdiri dari Bapak, Ibu dan 4 orang anak ; dua perempuan dan 2 laki-laki. Sang Bapak berprofesi sebagai Jaksa yang dalam pekerjaannya beliau banyak bertugas di luar kota. Jarang pulang. Beruntung ada sang Ibu yang bisa diandalkan. Waktu berlalu, Anak-anak tumbuh dewasa. Diantaranya, ada yang melanjutkan profesi bapaknya menjadi Jaksa, ada yang menjadi Pilot di sebuah maskapai terkemuka negri ini. Sungguh harmonis pembagian peran dalam keluarga ini. 

Sang Bapak pensiun, anak-anak menikah...tiga anak keluar dari rumah. Menyisakan anak perempuan yang menempati rumah tsb bersama keluarga barunya. Rumah ini pernah terselimuti duka lara saat sang ibu meninggal dunia. lalu canda tawa seolah lenyap dari rumah ini, ikut terkubur bersama jasadnya. 

Sang Bapak menikah lagi. Si anak perempuan murka. Dia tidak sudi ibunya terganti. Apalagi barus berbagi tempat tinggal dengan istri baru Bapaknya. Bapak memilih tinggal di rumah istri barunya, Seorang janda yang juga ditinggal mati suaminya. Pensiunan jaksa itu, hanya mampu menafkahi istrinya sebesar 300 ribu /bulan. 

Setiap pagi, Sang Bapak datang mengendarai sepeda motor bebeknya. Mengetuk-ngetuk gembok hingga bersuara nyaring, berharap dibukakan pintu oleh anak cucu menantunya. Jika tidak mempan, dia akan membunyikan klakson berkali-kali. tapi seringnya, semua sia-sia. Bapak pulang. Penghuni didalam belum bangun atau pura-pura tidak mendengar ? Jikapun gerbang tidak dikunci, pintu masuk utama tidak bisa diakses karena terkunci dari dalam. Biasanya Bapak duduk diam sambil menahan lapar dan keinginannya untuk bikin minuman hangat. 

Suatu hari, Aku melihat sang cucu membuka pintu sambil menghardik kasar. atau dikali lain, sang anak membuka pintu sambil mendorong dan memukul wajah bapaknya. Sang Bapak hanya diam. tidak melawan. matanya berkaca-kaca. 

Puluhan tahun lalu, Ada peristiwa yang tidak dapat aku lupakan "Ibu berteriak histeris ditenangkan anak-anaknya setelah menerima tamu-tamu perempuan yang mencari istri dari suaminya, yang mengaku tengah mengandung anak dari suaminya, yang menuntut tanggung jawab dan nafkah bapak dari anak-anaknya yang tengah berdinas di luar kota"

Entah siapa yang harus mengurus Bapak yang tidak lama lagi memiliki waktu di dunia ini ; istri atau anak-anaknya ? 

Entah siapa yang berhak melakukan penghakiman. Tuhan atau anak-anak ?

Entahlah, Aku kan cuma sebuah pintu Gerbang, berwarna hitam. Disebuah rumah hoek di pinggir sungai.

Posting Komentar untuk "Kesaksian Si Pintu Gerbang"