Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Uang masjid

Suatu malam, rumah kami kedatangan seorang teman mama- beliau pengurus masjid tidak jauh dari rumah. Dari obrolan yang nis curi dengar, mama ditawari memegang bendahara masjid sekaligus membuat laporan keuangan. Mama ahli dalam hal ini, mama seorang akuntan yang lari berdagang. 

Jaman itu, pengurus masjid menjadi profesi yang memiliki status sosial khusus di masyarakat. prediksiku, mama akan menerima tawaran itu. Terlebih yang datang adalah orang terpandang. Tapi mama menolaknya dengan halus. "Ibu kan dagang, uang ini bisa jadi modal. tambah-tambah dagangan ibu biar banyakan. Laporan masjid cuma berdasarkan jumlah saldo yang tercetak di buku tabungan. ATM kan ibu yang pegang" ucap beliau mencoba menawar. Mama tetap pada pendiriannya. Aku kecewa mendengarnya. 

Setelah tamunya pamit, nis dekati Mama yang duduk diam di teras. Matanya menerawang. Tanpa ditanya, mama bilang "Kalian masih kecil. Masih banyak kebutuhan. Mama takut khilaf pegang uang orang. Apalagi itu uang ummat. Uang masjid" kata mama. 

"Tapi Mama bisa berhati-hati" kataku

"Itu uang tidak sedikit. Orang akan cendrung mencoba mengelabui" jawab mama

Aku menarik nafas dalam

"Yang terlihat memang uang. Tapi itu adalah sedekah ummat. Sedekah adalah cara manusia mencuci dosannya. Bayangkan, kalau kita meminum kobokan (air bekas cucian tangan orang). Mama tidak mau ada uang haram yang mama suapkan ke mulut kalian. Toh, kita punya modal walau tidak banyak. Itu cukup buat menyambung hidup" sambung Mama. Ada ketegaran dan tekad di dalamnya. 

...begitulah cara mama menyayangi dan membesarkan kami bertiga.

FYI. Keesokan hari selepas shalat subuh, toa masjid mengumumkan seseorang telah berpulang kerahmatullah, tamu kami malam itu.

Posting Komentar untuk "Uang masjid"