Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mertua meminta kami bercerai setelah 10 tahun menikah tanpa anak (Diadaptasi dari kisah nyata seorang pasien #bayitabung)


Mertua meminta kami bercerai setelah 10 tahun menikah tanpa anak

(Diadaptasi dari kisah nyata seorang pasien #bayitabung)

MIA... Sejak awal mula hubungan ku dengan Hafez, nama itu terus menghantui. Hafez dan Mia sebenarnya adalah teman kecil. Mereka satu sekolah hingga SMA. Kemudian, Hafez melanjutkan kuliah ke Ibukota, dan perempuan itu kuliah di universitas negri di kota sebelah. Konon katanya, cinta mereka bersemi dalam jarak. Dalam tiap tulisan-tulisan manis yang dikirimkan melalui surat. Kedua orang tua Hafez dan Mia merestui hubungan keduanya. Setamat sarjana, pertunangan mereka dihelat besar-besaran di kota kecil ini. Pasangan ini di gadang-gadang sebagai pasangan serasi dari dua keluarga terpandang yang sukses.

Namun,  Cinta mereka diuji saat Hafez mendapat beasiswa ke luar negri, Mia baru saja diterima menjadi pegawai negri sipil dan harus menjalani ikatan dinas selama beberapa waktu. sejatinya, pernikahan Hafez dan Mia direncankana akan digelar setelah Hafez berhasil meraih gelar Magister Teknik Tatakota dari negri Hitler.

Jodoh, maut dan rejeki sepenuhnya Tuhan punya kuasa. Sepulangnya Hafez ke tanah air, ia datang ke acara pameran rumah. Rumah masa depannya dengan Mia. Dimana aku yang waktu itu sedang menunggu wisuda sarjana, sedang mencari-cari pekerjaan sambil bekerja paruh waktu sebagai pramuniaga yang menawarkan rumah idaman pada Hafez. Latar belakang kami yang sama-sama Teknik, membuat Obrolan kami terasa nyambung. karena ternyata Hafez merupakan senior ku di kampus. Siapa nyana,  dikemudian hari, rumah yang kutawarkan pada Hafez adalah istana cinta kami. Saat Hafez datang ke acara wisuda ku, menjadi pendamping diacara paling special dalam hidup ku, bapak dan ibu tidak bisa datang karena terkendala biaya. Saat itu, Diam-diam aku berdoa, semoga Hafez kelak menjadi pendamping hidup ku.

Doa yang membuat ku melangkah lugu ke dalam hubungan Mia dan Hafez. Hafez memilih ku dan aku memutuskan menerima pinangan anak tunggal berdarah biru itu walau kami beda agama dan etnis. Ku mabuk cinta yang tak terbaca oleh naluri ku. Orangtua dan keluarga besar Hafez membingkai ketidaksepahaman mereka dengan keputusan Hafez dalam unggah ungguh yang santun.
Aku tak pernah tahu mengenai Mia, sampai tahun kesembilan pernikahan kami. Pernikahan yang begitu indah dan bahagia, meski kami belum dikaruniai anak. Ibu mertua ku sendiri yang memberitahuku perihal hubungan Hafez dan Mia.
Hafez sendiri tidak pernah bertanya apalagi mempermasalahkan kehadiran anak yang tak kunjung ada dalam pernikahan kami. Kami bahagia dan santai saja. Masing-masing dari kami sibuk berkarir. Hafez mendukung ku untuk melanjutkan Pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Saat ini, Aku bekerja sebagai staff ahli pada sebuah Lembaga kemanusiaan internasional yang berkedudukan di Jakarta. Demikian juga Hafez. Setelah menikah dengan ku, Hafez kembali ke kampusnya dulu. Kami hidup merantau ke negri orang untuk mencari ilmu dengan bea siswa. Saat ini, Hafez menduduki jabatan top level di sebuah BUMN. Hingga waktu berlalu. “Mungkin Tuhan belum berkehendak” Demikian katanya menenangkan hati ku. Sakit rasanya ketika silih berganti orang-orang yang kami temui selalu selalu mengajukan pertanyaan yang sama “udah hamil belum ?” atau “kenapa belum isi-isi juga?” seolah memiliki buah hati sepenuhnya adalah kehendak aku sebagai manusia. Ada masanya, aku memilih untuk menghindari pertemuan dengan keluarga besar. Pulang ke kampung halaman ku maupun kampung halaman Hafez menjadi sebuah momok yang menakutkan untuk ku. Mungkin juga untuk Hafez, meski ia membalutnya dalam diam dan senyum hangat.  Aku terluka pada budaya patriarkhi yang seolah menempatkan perempuan menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas ketidakhadiran buah hati dalam sebuah pernikahan.

Walau Bapak dan Ibuku yang keduanya berasal dari keluarga besar yang juga memiliki anak banyak. Aku sendiri merupakan anak sepuluh dari sepuluh bersaudara yang semuanya sehat. Kesuburan bukan merupakan isu dalam keluarga besar ku. Mereka semua bertanya kenapa aku tak juga kunjung hamil. Menyampaikan pertanyaan dengan tetap menjaga perasaanku.
Namun tidak demikian dengan keluarga besar Hafez. “Kenapa belum hamil ?” adalah pertanyaan yang rutin diajukan Ibu mertua ku sejak awal pernikahan. Aku bisa maklum, orangtua Hafez berharap besar pada kami akan kehadiran buah hati karena Hafez anak tunggal. Ditangan Hafez satu-satunya trah keluarga ini diturunkan.

Awalnya, pertanyaan itu terdengar bak sebuah kepedulian wujud kasih akung ibu pada anak menantunya. Tapi setelah sembilan tahun, kalimat itu tak ubahnya suara sumbang yang menusuk jantung. Apalagi setelah dibumbui dengan cerita tentang Mia yang saat ini berstatus janda dengan dua orang anak. Ditambah nasehat bapak mertua ku tentang kesediaan istri dipoligami saat tidak mampu memberikan keturunan. Sungguh membuat ku hancur. Apakah seorang perempuan terlahir kedunia hanya untuk menjadi bahan perbandingan saja ?

“Sungguh Tuhan, jika masih layak aku meminta dalam keputusasaan ini. Bukan dengan jalan poligami aku merindukan surga Mu” doa ku dalam tiap sujud panjang.
Pada mudik tahun lalu, dalam suasana silahturrahmi Idul Fitri, Ibu dan Bapak mertua memperkenalkan dengan Mia yang datang membawa sepasang putra dan putrinya berusia sekolah dasar yang elok rupawan. Mia perempuan anggun yang lembut. Setelah bersalaman dengan Mia, entah hanya perasaan ku saja atau bagaimana? Aku merasa sosok ku tidak ada di sana. Hafez dan keluarga besarnya berbincang hangat dengan Mia. Dari sorot matanya, bisa ku tangkap kebahagiaan yang lain saat Hafez bercengkrama dengan sepasang buah hati Mia. Aku ingin Hafez bahagia, namun hati ku tak siap berbagi. Saat Mia dan kedua buah hatinya pamit pulang, Ibu dan bapak mertua meminta Hafez mengantar mereka. Hafez menatap ku meminta persetujuan. Yang hanya sanggup ku balas dengan senyum getir. Kala mobil yang ditumpangi suami ku menghilang pada kelok pertama menuju jalan raya, pudar harap mawaddah bersamanya…

#indrancanwar #nanisaindra
Bersambung...


Banyak saran yang kami dapat dari teman-teman dan keluarga mengenai pengobatan alternative untuk mendapatkan buah hati. Selain tidak murah, banyak diantara pilihan pengobatan itu yang tidak masuk akal. Sedangkan Aku dan Hafez adalah orang yang sangat realistis. Jadilah, hanya pengobatan yang masuk akal yang kami jalani. Seperti akupuntur yang merupakan pengobatan budaya Tiongkok yang berusia ratusan tahun, atau pijat – pengobatan lainnya yang berasal dari budaya nusantara. Tapi keduanya hanya separuh hati kami jalani dan tidak lama. karena hasilnya tidak instan. kami belum beruntung. Aku tidak pernah hamil.

Usia ku 32 tahun, saat aku rajin mencari informasi mengenangi pertolongan bagi pasangan yang tidak bisa hamil alami. Aku membaca dari banyak sumber dan bicara dengan banyak orang. Aku mulai bicara dengan Hafez untuk memeriksakan diri ke dokter. Karena sibuk, Hafez meminta ku untuk lebih dulu memeriksakan diri ke dokter kandungan dan kebidanan. Dari beberapa dokter yang ku temui, Aku mendapat nasehat yang sangat mengena di hati dari seorang dokter yang ahli menangani kesuburan dan bayi tabung, namanya dr. Indra Anwar yang praktek di Klinik Morula IVF Menteng dan Klinik Teratai RS Gading pluit. beliau mengatakan “Tidak hamil tidak selalu salah perempuan. Karena ada 40 % factor istri, 40 % factor suami, 10 % factor suami istri dan 10 % factor yang tidak bisa dijelaskan mengapa suami istri tidak kunjung dikaruniai buah hati. Maka pemeriksaan ketidaksuburan harus dilakukan oleh suami istri. Tidak bisa hanya istrinya saja. Karena suami istri merupakan satu kesatuan biologis”. Tangis ku pecah dalam perjalanan pulang kerumah. Derasnya hujan yang mengguyur ibu kota malam itu, menjadi saksi betapa hati ku dimenangkan. Entah mengapa, saat itu, aku sangat menikmati kemacetan di jumat malam. Aku bertekad menempuh program bayi tabung untuk bisa hamil. Walau harus merogoh kocek sedemikian dalam. Aku dan Hafez harus bersama-sama memperjuangkan keutuhan bahtera rumah tangga ini.

Sesampainya dirumah, aku bercerita bagaimana melewatkan hari ini. Lengkap dengan curahan hati ku bahwa aku takut kehilangan Hafez dan hanya ingin sakinah bersamanya. Hafez luluh. Dia berjanji akan sepenuhnya mendukung program bayi tabung yang akan kita jalani. Baik secara moral maupun materi. Kami sama-sama berkeinginan kuat memiliki anak,.
Kami kembali mengunjungi dokter Indra Anwar- dokter ahli kesuburan dan bayi tabung yang memenangkan hati ku tempo hari. Kami berkonsultasi di Klinik Morula IVF Menteng dengan pertimbangan dekat dengan kantor kami di bilangan Thamrin. Kali ini, kunjungan ku pada hari kedua haid. Hafez menjalani Analisa sperma, screening darah ; hepatitis B,C HIV. Sedangkan aku melakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk melihat organ reproduksi,pengecekan profil hormon dan screening darah berupa toksoplasma, rubella, hepatitis B, C dan HIV, dan juga melakukan pemeriksaan histerosalpingografy (HSG), yaitu suatu pemeriksaan radiologic untuk mengetahui apakah kedua saluran telur terbuka atau tertutup.

Pemeriksaan yang ku jalani memang lebih kompleks. Hasil pemeriksaan “dalam” dan berbagai pemeriksaan lain tadi, diketahui bahwa dari ku semua baik-baik saja. Sehingga tidak dibutuhkan tindakan operatif seperti Laparoskopi yaitu operasi lubang kunci adalah prosedur bedah minimal invasif yang dilakukan dengan membuat sayatan kecil di dinding perut. dilakukan untuk keperluan diagnosis atau pengobatan. Melalui metode ini, dokter dapat melakukan koreksi pada penyebab ketidaksuburan seperti Endometriosis, saluran telur yang tersumbat, kelainan Rahim seperti mioma dan gangguan ovulasi seperti PCO (Polycyctic Ovary).

Dari hasil analisa sperma Hafez,didapatkan jumlah sperma yang kurang dari normal {oligozoospermia}, dan pada pemeriksaan organ reproduksi Hafez, ditemukan adanya masalah yang di duga menjadi hambatan dalam kesuburan yaitu Varikokel. Varikokel adalah pembengkakan pada pembuluh darah vena dalam kantong zakar (skrotum). Varikokel terjadi di skrotum yang berfungsi menahan testis serta mengandung arteri dan vena di saluran sperma (spermatic cord) pada setiap testis di atas skrotum. Pembuluh darah yang membawa darah dari testis ke penis tersebut seharusnya tidak teraba atau terasa, tetapi saat terjadi varikokel pembuluh darah vena tersebut tampak seperti banyak cacing dalam skrotum. Kondisi ini serupa dengan varises pada tungkai. Solusi dari varikokel yang diderita Hafez adalah tindakan operatif laparoskopi. dokter Indra Anwar menyimpulkan, varikokel ini terjadi karena kemungkinan Hafez hobi naik sepeda sejak remaja, walaupun penyebab pastinya tidak diketahui. Demikian cara Hafez menjaga kebugaran tubuhnya.

Kesimpulan yang didapat dari pemeriksaan awal kami berdua, kembali memenangkan hati ku. Bahwa penyebab ketidaksuburan yang berujung tidak kunjung hadirnya buah hati dalam kehidupan pernikahan kami, tidak sepenuhnya salah ku sebagai perempuan. Namun, tujuan dari pemeriksaan awal bukan untuk mencari siapa yang bersalah, melainkan untuk mencari solusi. Namun tak ayal, hasil pemeriksaan itu membuat hati kami terbelah karena biaya yang kami anggarkan semula untuk proses bayi tabung membengkak karena Hafez harus menempuh tindakan operatif laparoskopi terlebih dahulu untuk membuang varicocelenya.

Kami berupaya mencari solusi dengan menghubungi asuransi. Akan tetapi, walaupun WHO (World Health Organization) menyatakan ketidaksuburan itu merupakan suatu PENYAKIT, tidak terjadinya kehamilan setelah berhubungan seks secara teratur tanpa kontrasepsi selama 12 bulan, Asuransi di Indonesia tidak mau menanggung segala hal menyangkut ketidaksuburan. padahal ketidaksuburan sendiri menimbulkan penderitaan bagi yang bersangkutan.
Kemudian, tekad kuat kami untuk memiliki anak yang kembali menyatukan pikiran dan hati kami untuk meneruskan proses bayi tabung. Uang bisa dicari. Setelah Hafez menjalani tindakan operatif laparoskopi, karena pertimbangan usia yang masih muda dan tidak ada masalah berarti dalam Rahim ku, dokter menyarankan untuk menjalani proses inseminasi. Kami mencobanya sebanyak tiga kali, tetapi tetap Gagal ☹, lalu dokter yang sama merekomendasikan kami untuk menempuh progam bayi tabung. Kami melakukannya dengan sabar dan pikiran yang positif. Sejak awal, kami memilih klinik Morula IVF  di dekat kantor aku dibilangan Thamrin. Jarak ini penting. Karena menempuh proses pengobatan ,tidak mungkin hanya satu kali datang. Jangan sampai, transportasi dan macet menjadi kendala utama yang mematahkan semangat berikhtiar. Menurut aku, klinik kesuburan juga wajib memiliki staff yang friendly yang bersedia menjelaskan apa dan bagaimana proses bayi tabung itu sendiri dan memberikan perincian biayanya, dan kemungkinan hamil melalui program ini. Bayi tabung untuk masyarakat awam masih abu-abu, belum lagi biayanya yang mahal dengan factor resiko gagal yang tinggi. Peran dokter ahli yang memenangkan hati aku yang well educated, sabar dan tidak menakut-nakuti membuat tekad aku dan suami bulat. Dengan dan dalam nama Tuhan, Kami berada ditangan yang tepat…

Proses bayi tabung dimulai, ditahun kesepuluh pernikahan kami. Better late than never. Pertama-tama, aku diminta datang pada hari kedua haid dan dilakukan USG untuk melihat berapa banyak sel telur yang ada pada saat itu. dokter memberiku terapi nasal speri (semprotan hidung) yang bertujuan untuk menekan hormon yang mrangsang indung telur dari otak dan kemudian setelah terjadi penekanan hormone dari otak lalu diberikan suntikan hormon sebanyak 10 x untuk merangsang pertumbuhan sel telur di indung telur dengan dosis dan jadwal penyuntikan yang disiplin. Aku tidak sanggup melakukannya sendiri. Hafez membantu menyuntikkan hormon tersebut di daerah perut. Hafez yang tidak berlatar medis, sebelumnya diajari perawat klinik kesuburan tentang bagaimana menyuntik yang baik, misalnya tidak boleh ada gelembung dsb. Penyuntikan hormon ini aman karena hanya di bawah kulit (subcutan), disuntikkan pada dinding perut karena mudah melakukannya dan lemak perut cukup tebal. Proses bayi tabung ini, merupakan proses dimana cinta kami di uji. Kami harus saling mendukung dan peduli satu sama lain.

Berbanding terbalik dengan aku yang harus menjalani proses stimulasi yang ribet, suami hanya diminta mengeluarkan spermanya untuk dianalisa.

Proses selanjutya dilakukan tindakan Ovum Pick Up(OPU) setelah sel telurnya matang,yaitu proses pengambilan sel telur melalui vagina dengan menggunakan jarum khusus dan bantuan USG, yang mengharuskan ku dibius umum. Setelah proses OPU selesai, prosesnya berlangsung sekitar 20 menit, yang aku rasakan adalah lapar, efek bius sudah tidak terasa namun saat aku berdiri untuk pertama kalinya, aku merasa mulas seperti menjelang haid yang nyeri. Meskipun demikian, Aku tidak perlu dirawat. Hasil observasi pasca OPU menjelaskan bahwa aku memiliki 11 sel telur namun hanya 9 yang bagus. Kami memutuskan untuk melakukan pembuahan dengan cara ICSI (Intra Cytoplamic Sperm Injection), yaitu dengan menyuntikkan 1 sel sperma langsung ke dalam 1 sel telur dan diperoleh sembilan embrio. Kemudian kami memutuskan untuk melakukan transfer dua embrio dengan kualitas excellent,yaitu proses memasukkan embrio kembali ke dalam Rahim setelah embrio-embrio tersebut dikultur di incubator di laboratorium selama 3 – 5 hari.. Sedangkan kelebihan embrio dengan kualitas baik disimpan beku. Jaman itu, menurut dokter, prosedur ini masih dipakai. Tapi saat ini, untuk menghindari risiko bayi kembar, hanya ditransfer satu embrio ke dalam rahim. Untuk menjalani ET (Embrio transfer) dokter hanya berpesan untuk aku banyak minum air putih agar kandung kemih membesar dan memudahkan untuk melakukan proses ET dengan bimbingan ultrasonografi (USG). Dalam menjalani proses bayi tabung ini, aku dan suami betul-betul all out.Tubuh, psikis, keuangan semuanya total untuk menggapai mimpi memiliki anak. Jadi apapun yang dokter bilang, kami lakukan dengan sepenuh hati.

Setelah ET, aku hanya beristirahat di rumah selama dua hari dan memakai obat-obat penguat rahim. Selanjutnya aku tetap beraktifitas seperti biasa. Aku ingat, waktu itu aku bertanya ke Dokter Indra Anwar “Apakah aku boleh mewarnai rambut ?” Dokter bilang, “sekarang masih boleh. Nanti kalau sudah hamil tidak boleh lagi”.
Setelah itu, kami menunggu dua minggu. Waktu penentuan yang mendebarkan. Dokter Indra Anwar mengatakan agar kami menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan, karena usaha kita sudah maksimal. Setelah embrio di transfer ke dalam rongga Rahim , maka tidak ada hal yang bisa dilakukan ataupun tidak dilakukan supaya bisa terjadi kehamilan. Proses menempelnya embrio ke dalam dinding Rahim hanya bisa terjadi secara alami, tidak bisa dibantu. Jika embrio berhasil menempel pada dinding Rahim,artinya terjadi kehamilan.
Saat itu, aku dan suami berdoa memohon mukjizah NYA yang maha segala sambil men- sugesti diri bahwa tidak ada hasil yang mengkhianati usaha.



Part 3
Mertua meminta kami bercerai setelah 10 tahun menikah tanpa anak

(Diadaptasi dari kisah nyata seorang pasien #bayitabung)

Part 2
https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2934018016660070

Part 1
https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2933870180008187

Waktu itu hari Jumat, setelah sembilan tahun tak pernah lagi berurusan dengan alat tes kehamilan (waktu dua tahun pertama setelah menikah masih rajin tes. Tapi karena tak kunjung dua garis, aku jadi bosen sendiri), aku melakukan tes mandiri dengan media urin dan hasilnya POSITIF !!!
Kami bahagia. Akhirnya aku dan suami mengunjungi Dokter Indra Anwar lagi di Klinik Morula IVF Menteng karena menurut Standar Oprasional, untuk semua pasien yang menjalani proses bayi tabung harus dicek hormone kehamilannya (b-hCG) dari urine (secara kualitatif) dan darahnya (secara kuantitatif) untuk memastikan apakah hamil/ tidak. Saat konsultasi itu juga aku bertanya ke Dokter Indra Anwar mengenai beberapa artikel yang aku baca di internet yang mengatakan bahwa janin hasil proses bayi tabung ada yang tidak berkembang lebih lanjut pada lima bulan pertama kehamilan karena tidak mendapat nutrisi atau jantung janin berhenti atau oleh sebab lain,seperti juga pada kehamilan alami.

Pada dasarnya program bayi tabung dikatakan berhasil jika sudah membawa bayi yang sehat ke rumah, jadi bukan sekedar dinyatakan positif hamil. Karena pertimbangan ini, aku dan suami memutuskan untuk tetap menyimpan tujuh sisa embrio kami dengan biaya penyimpanan. disini, aku bersukur berada dibawah supervisi Dokter Indra Anwar yang santai, realistik tapi tidak membuat down “Kita serahkan semua pada Allah ya, Bu. Pada pemeriksaan selanjutnya, tiga minggu dari sekarang, bisa jadi janinnya berkembang atau hilang begitu saja. Tanpa rasa sakit”

Tiga minggu kemudian kami datang, Dokter Indra Anwar melakukan USG. Diketahui bahwa janin kembarku tumbuh sehat walau kecil. Pada kunjungan berikutnya hasil USG menyatakan janin kami tumbuh dengan baik. Pada usia kelima bulan kehamilan, kami memutuskan untuk tidak lagi meneruskan penyimpanan enam embrio sisa yang kami miliki. Sambil terus berusaha berpikir positif.

Setelah kehamilan memasuki usia enam bulan, kami baru berani memberitahu orangtua kami, bahwa aku tengah mengandung janin kembar. Hafez menjelaskan dengan sangat hati-hati, bahwa kehamilan ini adalah proses bayi tabung. Khususnya pada orangtua Hafez, Kami menjelaskan bahwa sebelum proses bayi tabung ini dimulai, kami melakukan pemeriksaan awal secara keseluruhan dan didapatlah bahwa terdapat Varikokel pada skortum Hafez dan telah dikoreksi dengan tindakan operatif laparoskopi. Bahwa anak yang tidak kunjung datang dalam ke kehidupan kami, bukan sepenuhnya salah ku sebagai perempuan. Tumbuhnya janin kembar dalam rahimku ini sekaligus menggugurkan seluruh rencana pernikahan lagi Hafez yang telah disusun rapi oleh Bapak dan Ibu mertua.

Aku memaafkan, tapi tidak melupakan. Meskipun d isisi lain aku memahami bahwa dalam budaya Timur, memiliki anak biologis merupakan idaman bagi sebagian pasangan suami istri yang memulai kehidupan berumah tangga. Walaupun tujuan utama umat manusia untuk menikah menurutku adalah untuk memenuhi kebutuhan biologisnya sebagai makhluk hidup yaitu untuk mendapatkan kepuasan seksual, karena manusia tetap memerlukan seks walaupun tidak ingin memiliki anak, tetapi dalam kenyataanya pasangan suami istri sering lebih fokus pada upaya untuk memiliki anak. Jadi hubungan seksual sering diartikan hanya sebagai upaya untuk hamil. Keinginan memiliki anak sebenarnya adalah hal yang alami dan banyak perempuan merencanakan untuk bisa hamil dan memiliki anak pada suatu masa dalam kehidupannya saat dewasa. Walaupun untuk hamil tampaknya merupakan hal termudah di dunia, kenyataannya sebagian pasangan suami-istri tidak mampu mewujudkannya.

Dalam budaya Timur, Begitu upacara pernikahan selesai maka umumnya yang dipikirkan adalah :  Apakah mereka bisa hamil?  bagaimana cara untuk mewujudkan keinginan tersebut? Dan kapankah kehamilan itu akan terjadi? Atau apakah kehamilan itu bisa terjadi?
Mengapa demikian? Karena anak dianggap merupakan faktor penting dalam keluarga. Anak adalah generasi penerus keturunan keluarga atau nama keluarga atau silsilah keluarga.

Anak bukan hanya masalah kebahagiaan suami istri tetapi juga bahkan sering lebih sebagai bukti status perempuan di dalam rumah tangga, juga di dalam keluarga besar dan bahkan di tengah masyarakat. Anak mempunyai nilai yang tinggi secara sosial-kultural dan juga secara ekonomi. Bahkan pada beberapa kelompok masyarakat, menjadi ibu merupakan satu-satunya cara bagi perempuan untuk meningkatkan  statusnya di tengah keluarga dan masyarakat. Hal ini menimbulkan masalah lebih serius di negara berkembang dibandingkan di negara Barat.

Mendapatkan kenyataan bahwa Aku sebagai seorang perempuan tidak bisa hamil alami hal itu menimbulkan syok, karena Aku harus menyesuaikan hidup, membayangkan sebelumnya  di masa depan dengan kenyataan harus hidup sendiri tanpa anak. Tidak punya kesempatan untuk memberikan cinta dan kasih sayangnya kepada anak-anaknya sendiri, yang oleh umumnya manusia hal yang sulit diterima dan sering berhubungan dengan hilangnya harga diri dan timbulnya perasaan hanya berfungsi separuh perempuan atau separuh pria. Hal inilah yang sering menimbulkan stress bagi pasangan suami-istri. Tidak hadirnya buah hati di tengah kehidupan pasangan yang belum dikaruniai buah hati acapkali disadari atau tidak sering menimbulkan  beban secara psikologi seperti kecemasan,depresi, ketidakbahagiaan. Secara  social bisa terjadi pengucilan, kekerasan dalam rumah tangga, masalah status sosial Juga bisa timbul masalah secara ekonomi (yang syukurnya kami tidak mengalami hal itu) karena banyak keluarga terutama di negara berkembang yang tergantung pada anak untuk masalah ekonominya, oleh karena itu masih ada pendapat “banyak anak banyak rezeki”.  Walau himpitan ekonomi menjadikan pendapat itu tak lagi sepenuhnya benar.

Karena faktor jarak, akhirnya aku dan suami memutuskan untuk melakukan ANC (pemeriksaan kandungan) sampai melahirkan dengan dokter kandungan yang lain. putri kembar kami lahir dengan sehat tanpa ada kekurangan apapun pada tepat di tahun ke sebelas pernikahan kami. dengan berat masing-masing 2,2 kg dan 2,1 kg. Kembar! selama masa kehamilan, aku tetap bekerja seperti biasa. Aku tidak memiliki pantangan makan khusus, tapi aku back to nature. Banyak makan buah dan sayur, tempe tahu. Aku banyak berpikir positif dan tahu Batasan tubuh – kapan harus berhenti, kapan harus beristirahat. Tidak boleh nemaksa. Karena yang tahu kondiis tubuh kita ya diri kita sendiri.

Sebagai anak, Hafez tidak membantah sikap orangtuanya. Walau Hafez sepenuhnya paham bahwa tidak boleh ada yang berhak untuk ikut campur dalam setiap keputusan atas tubuh perempuan kecuali perempuan sang pemilik tubuh itu sendiri. Termasuk keputusan untuk menikah dan memiliki anak. Jika seorang perempuan memutuskan menikah dan belum dikaruniai anak, tanpa kehendak dan kesepakatan bersama suaminya. Maka tidak boleh ada satu orangpun yang memberikan stigma buruk atau membebankan tanggung jawab sosial / moral terhadapnya. Karena memiliki anak bukan hanya kehendak perempuan sebagai manusia, bukan ada ditangan seorang dokter ahli atau teknologi canggih.

Anak adalah rezeki, karunia yang sepenuhnya adalah hak Tuhan. Kepada siapa DIA akan mempercayakannya. Dengan caranya yang cerdas, tanpa menyakiti hati orangtuanya, Hafez memberikan dukungan, pendampingan, serta mengarahkanku pada edukasi dan pelayanan kesehatan yang benar dibidang reproduksi. Tidak meninggalkan istrinya dan mencari aman atas nama patriarkhi dan ujian Tuhan. Karena sejatinya, memiliki anak adalah tanggungjawab bersama.

Tamat.

Untuk informasi kesehatan reproduksi dan kesuburan saya folow IG : @indrancanwar
#indrancanwar
#nanisainda


Posting Komentar untuk " Mertua meminta kami bercerai setelah 10 tahun menikah tanpa anak (Diadaptasi dari kisah nyata seorang pasien #bayitabung) "