Cerpen Pluralis
Dear Kamu,
Pembicaraan tentang mu selalu mengingatkan ku pada suatu kisah kasih yang indah meski tak sampai. Kisah kasih remaja yang ku kenang sepanjang masa, karena...karena semua hal yang mungkin bodoh yang pernah ku lakukan, tapi tak pernah ku sesali.
Saat kamu menjadi buah bibir dikalangan remaja putri seusia ku, aku tidak penasaran mencari tau tentang kamu. Tidak. Sampai kamu mencuri perhatian ku dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit dari guru, membebaskan seisi kelas dari detik-detik mencekam intimadasi kemarahan. Entah mengapa, aku menikmati alunan suara mu, sipendiam yang hanya mengeluarkan kata saat ditanya. dan aku tidak cukup bernyali melakukannya. Kamu selalu mengumpulkan tugas paling awal - atau bahkan kamu selalu mengerjakan sesuatu yang tidak / belum diperintahkan dan Mendapatkan nilai terbaik.
Saat itu, diam-diam ku perintahkan ekor mata mencuri pandang kearah mu. Ajaib, sosok mu yang jangkung, kurus, berkulit bersih dan tanpa ekspresi itu mampu menstimulan semangat belajar ku. Walau hasil ku tidak melampaui hasil mu, tapi hal itu ku lakukan diluar batas kemampuan ku. Aku berusaha terlihat menonjol diluar kelas. Beberapa kali ku dipanggil kepala sekolah saat upacara bendera untuk menerima secara simbolis penghargaan perlombaan yang ku menangkan, sejujurnya, aku hanya berharap ucapan dan senyum manis mu saja. Tapi dilirikpun tidak.
Kelas berikutnya, aku duduk disebelah mu - tidak sebangku. Ada lorong yang memisahkan. jarak tidak sampai semeter itu membuat ku semangat ke sekolah setiap hari dan menyiapkan UN sebaik-baiknya. ah rasanya, semua orang tau akan perasaan ku pada mu. diujung kelas 3, perpustakaan menobatkan ku sebagai peminjam buku terbanyak. membaca adalah hobi ku dan perpustakaan adalah tempat paling nyaman untuk ku. Kamu ingat, waktu itu kamu tegak berdiri mengulurkan tangan mengucapkan selamat. Duh, kamu...Rasanya, senyum mahal mu yang merekah dan sentuhan tangan itu merupakan hadiah terindah yang pernah ku terima. sejak itu, sosok mu tidak lagi asing. Kamu masuk kesebuah SMA Negri favorit dan aku memilih sebuah sekolah swasta kristen yang bagus. Aku sedih, tidak bisa lagi melihat mu.
Bukan modus, klo suatu hari aku menelpon mu. Meminta berdiskusi tentang soal matematika yang sulit ku pecahkan. Aku memikirkannya berhari-hari, menangis karenanya dan saat itu sosok mu berkelebat. Kamu ditemani sahabat mu, demikian juga aku saat kita bertemu sore itu. Aku ingat, aku masih memakai seragam sekolah ku. kita bisa memecahkan soal rumit itu bersama-sama dan kamu sanggup membuat ku mengerti.
"Mungkin, kesulitan soal ini adalah pertanda bahwa kamu harus pindah sekolah dari sekolah kristen itu. Kamu tidak seharusnya ada disana" kata mu lembut dengan tatapan tanpa ekspresi
...Detik itu, untuk pertama kalinya, semua keindahan mu lenyap, hilang tak berbekas begitu saja...
Itu terkahir kalinya aku melihat mu...
Pembicaraan tentang mu selalu mengingatkan ku pada suatu kisah kasih yang indah meski tak sampai. Kisah kasih remaja yang ku kenang sepanjang masa, karena...karena semua hal yang mungkin bodoh yang pernah ku lakukan, tapi tak pernah ku sesali.
Saat kamu menjadi buah bibir dikalangan remaja putri seusia ku, aku tidak penasaran mencari tau tentang kamu. Tidak. Sampai kamu mencuri perhatian ku dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit dari guru, membebaskan seisi kelas dari detik-detik mencekam intimadasi kemarahan. Entah mengapa, aku menikmati alunan suara mu, sipendiam yang hanya mengeluarkan kata saat ditanya. dan aku tidak cukup bernyali melakukannya. Kamu selalu mengumpulkan tugas paling awal - atau bahkan kamu selalu mengerjakan sesuatu yang tidak / belum diperintahkan dan Mendapatkan nilai terbaik.
Saat itu, diam-diam ku perintahkan ekor mata mencuri pandang kearah mu. Ajaib, sosok mu yang jangkung, kurus, berkulit bersih dan tanpa ekspresi itu mampu menstimulan semangat belajar ku. Walau hasil ku tidak melampaui hasil mu, tapi hal itu ku lakukan diluar batas kemampuan ku. Aku berusaha terlihat menonjol diluar kelas. Beberapa kali ku dipanggil kepala sekolah saat upacara bendera untuk menerima secara simbolis penghargaan perlombaan yang ku menangkan, sejujurnya, aku hanya berharap ucapan dan senyum manis mu saja. Tapi dilirikpun tidak.
Kelas berikutnya, aku duduk disebelah mu - tidak sebangku. Ada lorong yang memisahkan. jarak tidak sampai semeter itu membuat ku semangat ke sekolah setiap hari dan menyiapkan UN sebaik-baiknya. ah rasanya, semua orang tau akan perasaan ku pada mu. diujung kelas 3, perpustakaan menobatkan ku sebagai peminjam buku terbanyak. membaca adalah hobi ku dan perpustakaan adalah tempat paling nyaman untuk ku. Kamu ingat, waktu itu kamu tegak berdiri mengulurkan tangan mengucapkan selamat. Duh, kamu...Rasanya, senyum mahal mu yang merekah dan sentuhan tangan itu merupakan hadiah terindah yang pernah ku terima. sejak itu, sosok mu tidak lagi asing. Kamu masuk kesebuah SMA Negri favorit dan aku memilih sebuah sekolah swasta kristen yang bagus. Aku sedih, tidak bisa lagi melihat mu.
Bukan modus, klo suatu hari aku menelpon mu. Meminta berdiskusi tentang soal matematika yang sulit ku pecahkan. Aku memikirkannya berhari-hari, menangis karenanya dan saat itu sosok mu berkelebat. Kamu ditemani sahabat mu, demikian juga aku saat kita bertemu sore itu. Aku ingat, aku masih memakai seragam sekolah ku. kita bisa memecahkan soal rumit itu bersama-sama dan kamu sanggup membuat ku mengerti.
"Mungkin, kesulitan soal ini adalah pertanda bahwa kamu harus pindah sekolah dari sekolah kristen itu. Kamu tidak seharusnya ada disana" kata mu lembut dengan tatapan tanpa ekspresi
...Detik itu, untuk pertama kalinya, semua keindahan mu lenyap, hilang tak berbekas begitu saja...
Itu terkahir kalinya aku melihat mu...
Posting Komentar untuk "Cerpen Pluralis"