Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ya, Saya Pribumi

Tahun 90 an disekolah menengah atas yang terkenal dg sekolah mahal dan sangat disegani dikalangan sekolah di Jakarta bahkan negri ini karena NEM nya selalu tertinggi dan langganan beprestasi di dalam maupun luar negri. Disana,  terdapatlah seorang siswi muslim, enggak pinter2 amat dan berasal dari kalangan ekonomi menengah anjlog.  Menjadi minoritas diantara mayoritas siswa keturunan, non muslim yang tajir2 itu...

Kok bisa?
Siswi itu salah satu dari 3 anak janda. Semuanya masih sekolah dan kuliah. Si ibu yang sombong,  walau tidak punya uang dia bermimpi besar menyekolahkan anak-anaknya ditempat-tempat terbaik. Waktu itu SMA negri masih bayar. Dan untuk masuk ke SMA negri favorit,  tdk sedikit uang yang harus dikeluarkan. Faktanya,  siswi itu diterima disekolah yang dinobatkan sebagai SMA swasta terbaik di Jakarta. Dia lolos syarat administrasi (rapot dan nem), syarat lolos tes tulis Mat, IPA,  Bahasa Inggris, Tes Potensi Akademik dan tes wawancara Ibu serta anak (perihal ekonomi dan motivasi) dengan Grade A (terbaik). Perkara SPP dan biaya masuk?  Ternyata ada subsidi silang. Jadi semua bisa masuk.  Asal lolos tes. Siswi itu bisa berada sejajar dengan para siswa/i lain yang lebih beruntung secara ekonomi.

Suatu hari,  ada teman si siswi yang bercerita tentang jalan-jalannya keluar negri sambil memberi oleh-oleh. Putri seorang pemilik pabrik biskuit nasional "mbak gue ikut. Mbak gue muslim. Tapi enggak apa berkunjung kesana. Mbak gue sama kayak lu orang punya kulit"

...dasar anak sma bloon, siswi masih kepikiran sama ucapan itu. Kulit gue kenapa?

Rupanya diperhatiin sama guru BK klo siswi ini murung. Ceritalah siswi ini sewaktu dipanggil ke ruangan BK (horor room) tanpa bermaksud ngadu "bu,  kulit saya kenapa ya?"

Buntutnya,  si putri horang kayah ini dipanggil guru BK sampe nangis,  sujud dan minta maaf. "saya enggak bermaksud menyakiti kamu,  sungguh" kagetlah si siswi ini... Loh kok begini jadinya.  Walau mereka sudah saling memaafkan,  tapi orang tua si putri tetap dipanggil.

Pengalaman diterima sebagai minoritas menjadikannya plural. Kepo yaaaaaa sekolah apaan?  Masih ada kok sekolahnya.  Berdiri kokoh di depan apartemen mediterania,  diapit kantor pemadam jakbar dan hotel tropic *chek google map*

Bayangin apa jadinya si lulusan amerini itu klo jadi siswa disana? Mau dikata konteksnya kolonialpun tetep ga masuk akal,  17 an udah lewat,  Njing!!!

Posting Komentar untuk "Ya, Saya Pribumi"