Dear dr Mirta Widia, MARS
Satu-satunya hal yang membuat saya menyesal berhenti bekerja ditempat itu adalah karena saya kehilangan sosok yang sudah saya anggap seperti ibu saya sendiri. Dimana saya tidak dapat merasakan lagi teduh tatap matanya, bijak nasehatnya...
Bisa saya rasa sayangnya beliau pada saya - maaf klo dokter bilang saya gede rasa. Tidak akan pernah saya lupa dok, Ketika saya menghadapi masa-masa sulit itu. Dokter orang pertama yang mau mendengarkan saya -bawahan dokter, dokter begitu berempati dengan saya, memberi solusi yang begitu menenangkan. Tatapan mata itu, sungguh dok, nisa kangen...
Seingat saya, beliau tidak pernah menghardik saya -bawahannya. Seberapapun saya membuatnya kesal dengan banyak kebodohan dan kelalaian saya. Beliau selalu mengajarkan bagaimana hal yang semestinya. Tidak pernah sekalipun saya mendengar beliau berkata buruk tentang sesuatu atau seseorang. Semuanya hal-hal baik. Sekalipun, beliau tidak pernah merendahkan saya. "Toleransi yang dokter berikan, membuat saya merasa dimanusiakan sebagai manusia"
Beliau tidak hanya membimbing saya dalam hal pekerjaan dan profesionalisme, beliau juga memberi contoh yang nyata. Beliau selalu mencantumkan nama seseorang dengan hasil kerjanya dihadapan pembesar pemegang kepentingan pada rapat-rapat besar. tanpa takut "kehilangan muka". Tak jarang Beliau "pasang badan" untuk bawahannya dan meminta saya bersabar dalam menyelesaikan setiap pekerjaan. "Kalaupun saya menjadi seperti sekarang, dok. Itu karena dokter"
"Saya membuka quran setiap kali galau melanda, dok. Seperti nasehat dokter, bahwa setiap pertanyaan ada disana jawabnya"
"saya merasa malu memakai perhiasan dan riasan berlebih. Karena dokter sebagai atasan saya waktu itu begitu sederhana. Dan hal itu terbawa hingga detik ini"
"dokter yang rendah hati dan mengayomi, membuat saya berjanji dalam hati untuk memperlakukan siapapun dibawah saya seperti dokter memperlakukan saya. Saya yang dulu bodoh, tidak hati-hati dan kekana-kanakan.
Saya belajar dari penyesalan itu, dok. Saya kangen dokter. Namun saya malu bahkan untuk sekedar bertatap muka. Malu karena saya belum menjadi lebih baik.
Rasanya, dok. Tak akan pernah ada atasan dimuka bumi ini yang memperlakukan bawahannya dengan sangat manusiawi. Maaf dok, saya belum bisa move on. Setelah hampir 2 tahun tidak lagi disana.
Rindu yang terbalut doa untuk dokter.
Bekasi, 19 Agustus 2017
Bisa saya rasa sayangnya beliau pada saya - maaf klo dokter bilang saya gede rasa. Tidak akan pernah saya lupa dok, Ketika saya menghadapi masa-masa sulit itu. Dokter orang pertama yang mau mendengarkan saya -bawahan dokter, dokter begitu berempati dengan saya, memberi solusi yang begitu menenangkan. Tatapan mata itu, sungguh dok, nisa kangen...
Seingat saya, beliau tidak pernah menghardik saya -bawahannya. Seberapapun saya membuatnya kesal dengan banyak kebodohan dan kelalaian saya. Beliau selalu mengajarkan bagaimana hal yang semestinya. Tidak pernah sekalipun saya mendengar beliau berkata buruk tentang sesuatu atau seseorang. Semuanya hal-hal baik. Sekalipun, beliau tidak pernah merendahkan saya. "Toleransi yang dokter berikan, membuat saya merasa dimanusiakan sebagai manusia"
Beliau tidak hanya membimbing saya dalam hal pekerjaan dan profesionalisme, beliau juga memberi contoh yang nyata. Beliau selalu mencantumkan nama seseorang dengan hasil kerjanya dihadapan pembesar pemegang kepentingan pada rapat-rapat besar. tanpa takut "kehilangan muka". Tak jarang Beliau "pasang badan" untuk bawahannya dan meminta saya bersabar dalam menyelesaikan setiap pekerjaan. "Kalaupun saya menjadi seperti sekarang, dok. Itu karena dokter"
"Saya membuka quran setiap kali galau melanda, dok. Seperti nasehat dokter, bahwa setiap pertanyaan ada disana jawabnya"
"saya merasa malu memakai perhiasan dan riasan berlebih. Karena dokter sebagai atasan saya waktu itu begitu sederhana. Dan hal itu terbawa hingga detik ini"
"dokter yang rendah hati dan mengayomi, membuat saya berjanji dalam hati untuk memperlakukan siapapun dibawah saya seperti dokter memperlakukan saya. Saya yang dulu bodoh, tidak hati-hati dan kekana-kanakan.
Saya belajar dari penyesalan itu, dok. Saya kangen dokter. Namun saya malu bahkan untuk sekedar bertatap muka. Malu karena saya belum menjadi lebih baik.
Rasanya, dok. Tak akan pernah ada atasan dimuka bumi ini yang memperlakukan bawahannya dengan sangat manusiawi. Maaf dok, saya belum bisa move on. Setelah hampir 2 tahun tidak lagi disana.
Rindu yang terbalut doa untuk dokter.
Bekasi, 19 Agustus 2017
Posting Komentar untuk "Dear dr Mirta Widia, MARS"