Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

TAK BAYAR, RAPOT TAK DIISI

Pagi yang mengharu biru. ada dua hal yang membuat saya menangis penuh syukur hari ini.

Ceritanya berawal dari beberapa hari lalu, saya menerima telpon dari wali kelas salah satu anak saya yang bersekolah di sekolah bergenre agama. Beliau menyampaikan bahwa, Anak saya walaupun memiliki nilai yang nyaris sempurna tapi tidak bisa menjadi juara kelas dan siswa berprestasi di sekolah dengan alasan anak saya belum memenuhi standar yang di tetapkan sekolah. Anak saya masih Iqra 6. belum Quran. Dan beliau juga menyampaikan himbauan dari yayasan bahwa siswa yang belum melunasi kewajiban administrasi sekolah, rapotnya tidak akan diisi dan namanya tidak akan dicantumkan di kelas berikutnya.

Saya memutuskan bicara dengan anak saya. saya menghargai betul proses yang sudah ia lewati untuk pencapaian ini. Diatas kertas, Dia berhak mendapat gelar juara kelas dan siswa berprestasi. tapi sebagai siswa dan orang tua kami harus tunduk dengan aturan yang berlaku. Pelan-pelan saya beri pengertian, bahwa dia tetap yang terbaik buat kami orangtuanya. dia harus tetap mempertahankan nilai-nilainya dan meningkatkan kemampuan membaca Iqra dan Qurannya. Saya memuji nalar dan kecerdasan emosional anak saya yang satu ini. Dia tersenyum dan memeluk Saya. Iya, Ma. Mas mengerti kekurangan itu. Mas akan tingkatkan. Saya lega luar biasa. Huft...

Saya teringat masa kecil di sebuah Desa Kecamatan di pesisir pantai Utara Jawa Barat. Bisa dibilang, perpisahan orang tua saya membuat saya menjadi anak yang tidak terurus. saya dititipkan kepada kakek dan nenek yang sudah sepuh, tidak sekolah tinggi dan kalangan menengah anjlok :( Saya menikmati masa-masa kecil saya dengan bahagia versi anak kampung. selepas jam sekolah dan madrasah, saya bebas bermain sesuka hati. asal jam 9 sudah ada dirumah. saya biasa main dirumah teman-teman, dirumah sepupu-sepupu, di sawah atau disungai. saya tidak dibebani untuk belajar dan mendapat rengking. tapi saya dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Jadi saya berpikir, tidak adil rasanya jika saya menuntut anak-anak saya berprestasi dan terancam kehilangan masa anak-anaknya yang indah tak terulang.
Sang juara kelas waktu SD selama 6 tahun berturut-turut pernah memuji saya. "Hebat kamu Nis, dulu saya lebih pintar dari kamu. tapi sekarang kamu lebih hebat dari saya". Saya hanya tersenyum menanggapinya. Alhamdullilah, saya bernasib baik saja. ucap saya dalam hati.

NEM Saya cukup untuk masuk SMP Negri Favorit di desa kami waktu itu, tapi Mama memutuskan untuk menarik saya ke Jakarta. agar saya dapat mengakses sarana dan prasarana pendidikan yang lebih baik. saya sekolah di SMP Swasta. di SMP prestasi belajar saya terbilang biasa. Saya lebih tertarik menenggelamkan diri dengan buku-buku sejarah, filsafat atau biografi. saya membaca buku dimana saja. di perpustakaan, di kelas (tidak saat jam pelajaran berlangsung) atau dirumah. pokoknya waktu saya habis untuk membaca. bukan belajar.

Saya diterima masuk melalui tes di sebuah SMA bergenre agama. Saya belajar keras untuk bisa mengikuti ujian dengan baik disana. ketika grade A berhasil diraih, Saya bisa masuk dengan biaya yang lebih rendah dibanding grade B atau C. Calon siswa dengan hasil tes masuk dibawah C dipersilakan mencari sekolah lain. begitu peraturannya. Sebenernya, Saya enggak percaya, bisa masuk kesekolah Swasta Favorit ini dengan Grade A. Ini adalah awal dimana saya bertekat merubah semua kebiasaan belajar Saya. Saya mulai adil membagi waktu antara belajar dan bersenang-senang menikmati buku-buku yang saya sukai. Tahap berikutnya adalah wawancara orang tua. Mama mengatakan keadaan kami yang sebenarnya. bahwa mama tidak punya slip gaji dan bukan pengusaha sukses. tapi Mama yang seorang janda dengan tiga anak punya cukup uang untuk menyekolahkan anak-anaknya di tempat-tempat terbaik di bumi Allah. Tapi Sekolah itu begitu baik. Saya siswa pribumi dan muslim (menjadi minoritas disana) mendapat keistimewaan untuk tidak penuh membayar uang SPP. Saya dan Mama tidak pernah diteror dengan kekurangan yang kami miliki. Kami tenang menjadi bangian dari mereka. bahkan para guru terus memberi kami semangat untuk terus berusaha. Efeknya, kami tau diri. Saya sebagai siswa belajar dengan baik dan mama sebagai orang tua berusaha memenuhi tanggung jawabnya sebagai orang tua. Saya sangat bersyukur pernah menjadi bagian dari organisasi pendidikan yang dapat mewujudkan slogannya kekehidupan nyata ; Iman, Ilmu dan Pelayanan.
Disana Saya belajar, baiknya agama seseorang tidak berarti banyak saat orang tsb tidak dapat memanusiakan manusia lain. Mimpi Saya, suatu hari nanti, ada sekolah bergenre agama yang membebaskan siswa dari agama yang tidak sama dengan genre nya dapat mempelajari agama yang diyakininya.

Saya berharap apa yang saya rasakan ini dapat juga dirasakan oleh seluruh anak Indonesia. mengingat pendidikan adalah sektor penting untuk dapat memutus mata rantai kemiskinan. Saya mendambakan Pendidikan yang diselenggaran oleh Sekolah milik Pemerintah bermutu baik dan dapat diakses secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, Saya bermimpi sekolah-sekolah swasta bukan hanya mengejar keuntungan semata. apalagi sekolah yang membawa nama agama tertentu. rasanya tidak pantas. misalkan, sekolah swasta bergenre agama tertentu biaya masuknya 20 juta dan uang spp 1 juta. saya belum pernah mendengar ada sekolah bergenre agama yang memberlakukan tes yang hasilnya dapat menentukan besaran nominal yang harus dibayar calon siswa. efeknya, semua calon siswa yang diterima disana dapat dipastikan kalangan orang-orang yang punya uang. ada pendikotom yang jelas antara si kaya dan si miskin. ya, kalo enggak punya uang harus tau diri donk. begitu kan ya ?! Bahkan, ada sebuah sekolah yang bergenre agama dan terkenal untuk kalangan menengah atas , memiliki anak Yayasan yang menerima anak-anak menengah kebawah. letak sekolahnya memang bersebelahan. tapi dipisahkan tembok tinggi dan secara kasat mata jelas berbeda dari segi sarana maupun pra sarananya.


Posting Komentar untuk "TAK BAYAR, RAPOT TAK DIISI"